Sabtu, 09 Maret 2013

Pujangga Dunia "Kahlil Gibran"




“...SESEORANG BISA BEBAS TANPA KEBESARAN, TAPI TAK SEORANGPUN DAPAT BESAR TANPA KEBEBASAN...”


K
alimat itu disampaikan Kahlil Gibran kepada Mary Haskell, seorang sahabat dan    kekasih jiwa yamh ia miliki di laut khayal dan menggantung di awan mimpi. Tapi tak pernah ia miliki secara nyata. Memang Gibran hidup dalam dua alam. Pikirannya hidup dalam alam khayal, dan hatinya selalu mendayung dalam bentangan samudra kasih, cinta, dan keindahan. Sedang jasadnya hidup dalam alam nyata, dimana kehidupan kerap tidak bersahabat dengan kaum pencinta. Karena serigala adat-istiadat dan harimau kelaziman yang berdasar ‘tatanan agama’ maupun hokum manusia, siap mencabik-cabik tubuh, lalu melemparakan tulang belulangnya bagai ranting pepohonanan membuang daun layu.Tetapi justru karena badannya hidup dalam alam nyata, ia mampu merasakan kepedihan, derita, nestapa, kelaparan, dan kesengsaraan. Yang kemudian memeberi ilham untuk membuat karya-karya nan agung. Kelihaian Gibran untuk membiarkan hatinya berbicara, dan jiwanya menulis kata-kata yang penuh hikmah itu membuat Gibran besar dalam keharuman namanya dalam generasi kebebasannya.

Karya-karyanya telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa. Kata-katanya yang penuh untaian hikmah telah mengilhami para politisi, agamawan, sampai kaum feminis. Ia kelahiran Beharre-Libanon, wilayah hutan cadar suci yang menyimpan pesona alam dan legenda kerajaan nabi Sulaiman. Lahir pada 1896 dan meninggal di New York 1931. Jasadnya dikubur di Libanon karena ia tak rela jika jasadnya tak dipeluk tanah negerinya.

Sebagai pujangga, Gibran memulai karyanya dengan bahasa arab. Melalui karya-karyanya, kita bias melihat bahwa Gibran adalah seorang humanis. Sebagai pemeluk agama Kristen Maronit ia membebaskan diri dari belenggu ekslufisme, ia melihat agama lebih dalam daripada ‘ajaran’ kaku dari kaum agamawan. Dan melalui karyanya ia memberontak kelaziman tatanan masyarakat yang sering diebut berdasarkan agama. Nilai-nilai luhur manusia yang diberikan Tuhan pada manusia yang ingin dikekang oleh kekuasaan raja atau politisi dan kaum agamawan, ia luruskan kembali.

Dengan semangatnya itu ia dijuluki sebagai penyair profetik. Apa yang ia tuliskan bukan hanya ide-ide khayali tanpa akar. Kata-kata yang ia tulis merupakan keyakinan yang menuntun hidupnya untuk mengharagai semua manusia, melepaskan belenggu kebodohan dan fanatic, dan menolak kesewenang-wenangan.
Kedunguan telah mengubah ajaran suci Tuhan melalaui ajaran para nabi menjadi belenggu umat beragama. Sejarah sering menjadi saksi, kekuasaan agama dan politik sering bahu-membahu untuk membuat manusia menjadi dungu agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Bahkan dengan lantang ia menyerukan kebangkitan dunia timur dari belenggu negara barat.

Simphoni yang lebih segar dari bisikan kehidupan, lebih pahit dari rintihan maut, lebih lembut dari gemerisik sayap, dan lebih dalam dari nyanyian ombak serta denyut perasaan jiwa putus asa. “… Kerakusan orang-orang Eropa, lalu sampai dimana kami harus berjalan? Kapankah kita sampai titik tujuan? Sampai kapankah salib akan menjauh dari bulan sabit dihadapan Allah?...”.

Dalam bukunya ‘Suara Sang Penyair’, Gibran mengatakan “dan yang kukatakan dengan satu lidah hari ini akan dikatakan banyak lidah di kemudian hari”. Kata-kata Gibran akan terus mengalir bagai embun menyejukkan. Sudah hampir seratus tahun Gibran terkubur dalam tanah. Tetapi karya-karyanya tetap terus diterbitkan, dan terus dicetak ulang dan diterjemahkan hingga sekarang. Penulis manakah yang mampu melakukan hal ini? Penyair manakah yang mampu menyihir pembacanya sampai saat ini? Kebesaran Gibran tidak pudar walau sudah terkubur dalam detik waktu siang dan malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar