“...SESEORANG
BISA BEBAS TANPA KEBESARAN, TAPI TAK SEORANGPUN DAPAT BESAR TANPA KEBEBASAN...”
K
|
alimat itu disampaikan Kahlil Gibran kepada Mary
Haskell, seorang sahabat dan kekasih jiwa yamh ia miliki di laut khayal dan menggantung di awan mimpi. Tapi tak pernah
ia miliki secara nyata. Memang Gibran hidup dalam dua alam. Pikirannya hidup
dalam alam khayal, dan hatinya selalu mendayung dalam bentangan samudra kasih,
cinta, dan keindahan. Sedang jasadnya hidup dalam alam nyata, dimana kehidupan
kerap tidak bersahabat dengan kaum pencinta. Karena serigala adat-istiadat dan
harimau kelaziman yang berdasar ‘tatanan agama’ maupun hokum manusia, siap
mencabik-cabik tubuh, lalu melemparakan tulang belulangnya bagai ranting
pepohonanan membuang daun layu.Tetapi justru karena badannya hidup dalam alam
nyata, ia mampu merasakan kepedihan, derita, nestapa, kelaparan, dan
kesengsaraan. Yang kemudian memeberi ilham untuk membuat karya-karya nan agung.
Kelihaian Gibran untuk membiarkan hatinya berbicara, dan jiwanya menulis
kata-kata yang penuh hikmah itu membuat Gibran besar dalam keharuman namanya
dalam generasi kebebasannya.
Karya-karyanya telah diterjemahkan lebih dari dua
puluh bahasa. Kata-katanya yang penuh untaian hikmah telah mengilhami para
politisi, agamawan, sampai kaum feminis. Ia kelahiran Beharre-Libanon, wilayah
hutan cadar suci yang menyimpan pesona alam dan legenda kerajaan nabi Sulaiman.
Lahir pada 1896 dan meninggal di New York 1931. Jasadnya dikubur di Libanon
karena ia tak rela jika jasadnya tak dipeluk tanah negerinya.
Sebagai pujangga, Gibran memulai karyanya dengan
bahasa arab. Melalui karya-karyanya, kita bias melihat bahwa Gibran adalah
seorang humanis. Sebagai pemeluk agama Kristen Maronit ia membebaskan diri dari
belenggu ekslufisme, ia melihat agama lebih dalam daripada ‘ajaran’ kaku dari
kaum agamawan. Dan melalui karyanya ia memberontak kelaziman tatanan masyarakat
yang sering diebut berdasarkan agama. Nilai-nilai luhur manusia yang diberikan
Tuhan pada manusia yang ingin dikekang oleh kekuasaan raja atau politisi dan
kaum agamawan, ia luruskan kembali.
Dengan semangatnya itu ia dijuluki sebagai penyair
profetik. Apa yang ia tuliskan bukan hanya ide-ide khayali tanpa akar.
Kata-kata yang ia tulis merupakan keyakinan yang menuntun hidupnya untuk mengharagai
semua manusia, melepaskan belenggu kebodohan dan fanatic, dan menolak
kesewenang-wenangan.
Kedunguan telah mengubah ajaran suci Tuhan melalaui
ajaran para nabi menjadi belenggu umat beragama. Sejarah sering menjadi saksi,
kekuasaan agama dan politik sering bahu-membahu untuk membuat manusia menjadi
dungu agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Bahkan dengan lantang ia
menyerukan kebangkitan dunia timur dari belenggu negara barat.
Simphoni yang lebih segar dari bisikan kehidupan, lebih pahit dari rintihan maut, lebih lembut dari gemerisik sayap, dan lebih dalam dari nyanyian ombak serta denyut perasaan jiwa putus asa. “… Kerakusan orang-orang Eropa, lalu sampai dimana kami harus berjalan? Kapankah kita sampai titik tujuan? Sampai kapankah salib akan menjauh dari bulan sabit dihadapan Allah?...”.
Simphoni yang lebih segar dari bisikan kehidupan, lebih pahit dari rintihan maut, lebih lembut dari gemerisik sayap, dan lebih dalam dari nyanyian ombak serta denyut perasaan jiwa putus asa. “… Kerakusan orang-orang Eropa, lalu sampai dimana kami harus berjalan? Kapankah kita sampai titik tujuan? Sampai kapankah salib akan menjauh dari bulan sabit dihadapan Allah?...”.
Dalam bukunya ‘Suara Sang Penyair’, Gibran
mengatakan “dan yang kukatakan dengan satu lidah hari ini akan dikatakan banyak
lidah di kemudian hari”. Kata-kata Gibran akan terus mengalir bagai embun menyejukkan.
Sudah hampir seratus tahun Gibran terkubur dalam tanah. Tetapi karya-karyanya
tetap terus diterbitkan, dan terus dicetak ulang dan diterjemahkan hingga
sekarang. Penulis manakah yang mampu melakukan hal ini? Penyair manakah yang
mampu menyihir pembacanya sampai saat ini? Kebesaran Gibran tidak pudar walau
sudah terkubur dalam detik waktu siang dan malam.